ASKEP THALASEMIA



ASKEP  THALASEMIA

A.   Pengertian
Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif. Menurut Hukum Mandel

Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defesiensi ) pada haemoglobin. (Suryadi, 2001)b atau (aproduksi rantai
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari 100 hari), yang disebabkan oleh defesiensi produksi satu , yang diturunkan dari keduab dan aatau lebih dari satu jenis rantai  orang tua kepada anak-anaknya secara resesif.

B.   Etiologi
Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).

C.   Fisiologi
1.      Sel darah merah
Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sum-sum tulang. Leukosit berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Hitung rata-rata normal sel darah merah adalah 5,4 juta /ml pada pria dan 4,8 juta/ml pada wanita. Setiap sel darah merah manusia memiliki diameter m.mm dan tebal 2 msekitar 7,5  Pembentukan sel darah merah (eritro poresis) mengalami kendali umpan balik. Pembentukan ini dihambat oleh meningkatnya kadar sel darah merah dalam sirkulasi yang berada di atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia. Pembentukan sel darah merah juga dirangsang oleh hipoksia.
2.      Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah, suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450. Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit mungkin haemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda, bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
I.2 Suksinil-KoA + 2 glisin protoporfirin Ix®II.4 pirol Heme®III.protoporfirin IX + Fe++ )b atau a Rantai hemoglobin (®IV.Heme + Polipeptida
 hemoglobin A
® b + 2 rantai aV.2 rantai
3.      Katabolisme hemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer), limpa dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin yang disekresikan hati ke dalam empedu. (Guyton & Hall, 1997).

D.  Patofisiologi
Pada keadaan normal disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dsari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir Foetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewawa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996)

E.   Gambaran klinis
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala klinis : mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan tersebut sering tidak jelas.
1.       Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
2.       Thalasemia intermedia
Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl) Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
3.       Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
F.   Pemeriksaan diagnostik
1.      Pemeriksaan laboratorium
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
2.      Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.

G.   Penatalaksanaan
1.      Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
2.      Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
3.      Pemberian cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan setiap unit darah transfusi.
4.      Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
5.      Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda sampai pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
6.      Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
7.      Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)

H.  Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
I.    Prognosis
Thalasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chaleting agents untuk mengurangi hemosiderosis (harganya pun mahal, pada umumnya tidak terjangkau oleh penduduk negara berkembang). Thalasemia tumor trait dan Thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis baik dan dapat hidup seperti biasa.

J.    Pencegahan
1.      Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
2.      Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).

K.   ASUHAN KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
a.       Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
b.       Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
c.       Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
d.      Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e.       Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai usia.
f.        Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
g.       Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia mayor.
h.      Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
i.        Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
1)      KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
2)      Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
3)      Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
4)      Mulut dan bibir terlihat kehitaman
5)      Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.
6)      Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
7)      Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
8)      Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
9)      Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
Diagnosa Keperawatan
1.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
4.      Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
5.      Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6.      Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
2.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
a.    Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
ü  Tidak terjadi palpitasi
ü  Kulit tidak pucat
ü  Membran mukosa lembab
ü  Keluaran urine adekuat
ü  Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
ü  Tidak terjadi perubahan tekanan darah
ü  Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
1)      Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
2)      Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan hipotensi).
3)      Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
4)      Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
5)      Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai indikasi.
6)      Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
7)      Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
8)      Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
b.     Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil : Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
1)      Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam beraktivitas.
2)      Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
3)      Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
4)      Berikan lingkungan yang tenang.
5)      Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
6)      Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
7)      Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
8)      Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
9)      Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
10)  Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
11)  Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
c.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
ü  Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
ü  Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
1)      Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
2)      Observasi dan catat masukan makanan pasien.
3)      Timbang BB tiap hari.
4)      Beri makanan sedikit tapi sering.
5)      Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang berhubungan.
6)      Pertahankan higiene mulut yang baik.
7)      Kolaborasi dengan ahli gizi.
8)      Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
9)      Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak dianjurkan.
d.    Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil : Kulit utuh.
Intervensi :
1)      Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan ekskoriasi.
2)      Ubah posisi secara periodik.
3)      Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
e.    Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
ü  Tidak ada demam
ü  Tidak ada drainage purulen atau eritema
ü  Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
1)      Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
2)      Dorong perubahan ambulasi yang sering.
3)      Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
4)      Pantau dan batasi pengunjung.
5)      Pantau tanda-tanda vital.
6)      Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
f.     Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
ü  Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
ü  Mengidentifikasi faktor penyebab.
ü  Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
1)      Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
2)      Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
3)      Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
4)      Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin melalui air ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.














DAFTAR PUSTAKA
1.Abdoerrachman M. H, dkk (1998), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung Solo, Jakarta.
5.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
6.Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
7.Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC, Jakarta.
8.Depkes, (1999), Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
9.Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.

0 komentar:

Go to Top
Copyright © 2015 KRIS BUDADHARMA
Distributed By My Blogger Themes | Template Created By