ASKEP THALASEMIA
A.
Pengertian
Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter
yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif.
Menurut Hukum Mandel
Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan
herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida
terganggu.
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan
ditandai oleh defesiensi ) pada haemoglobin. (Suryadi, 2001)b atau (aproduksi
rantai
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi
kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik
dimana terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit
pendek (kurang dari 100 hari), yang disebabkan oleh defesiensi produksi satu ,
yang diturunkan dari keduab dan aatau lebih dari satu jenis
rantai orang tua kepada anak-anaknya
secara resesif.
B.
Etiologi
Faktor
genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).
C.
Fisiologi
1. Sel darah
merah
Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke
dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sum-sum
tulang. Leukosit berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Hitung
rata-rata normal sel darah merah adalah 5,4 juta /ml pada pria dan 4,8 juta/ml
pada wanita. Setiap sel darah merah manusia memiliki diameter m.mm dan tebal
2 msekitar 7,5 Pembentukan
sel darah merah (eritro poresis) mengalami kendali umpan balik. Pembentukan ini
dihambat oleh meningkatnya kadar sel darah merah dalam sirkulasi yang berada di
atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia. Pembentukan sel darah
merah juga dirangsang oleh hipoksia.
2. Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen
dalam sel darah merah, suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450. Sintesis
haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam
stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan
masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit mungkin
haemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda, bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda, bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
I.2 Suksinil-KoA + 2 glisin protoporfirin Ix®II.4 pirol Heme®III.protoporfirin
IX + Fe++ )b atau a Rantai hemoglobin (®IV.Heme +
Polipeptida
hemoglobin A® b + 2 rantai aV.2 rantai
hemoglobin A® b + 2 rantai aV.2 rantai
3. Katabolisme
hemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah
merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh
tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer), limpa dan sumsum tulang. Selama
beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang
didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke dalam darah dan diangkut oleh
transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau
menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian
porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin
yang disekresikan hati ke dalam empedu. (Guyton & Hall, 1997).
D. Patofisiologi
Pada keadaan normal disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari
2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dsari
seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai
alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan
normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir Foetus senantiasa menurun dan pada
usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%,
pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai
gamma. Pada thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang
diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan
dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewawa (HbA). Kelebihan rantai
globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini
menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia
hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali
lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra
medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang
adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek dan
hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996)
E.
Gambaran
klinis
Secara
klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala
klinis : mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara
tingkatan tersebut sering tidak jelas.
1. Thalasemia
mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat
menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa
ditransfusi. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah
merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa
yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel
darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Gejala lain
yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur, berat
badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah
kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan
kulit.
2. Thalasemia
intermedia
Keadaan
klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia
sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl) Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan
splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi
nampak pada masa dewasa.
3. Thalasemia
minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya
tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk
heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
F.
Pemeriksaan
diagnostik
1. Pemeriksaan
laboratorium
Pada hapusan
darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan
sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan
nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai
beta.
2. Pemeriksaan
radiologis
Gambaran
radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan
perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
G.
Penatalaksanaan
1. Transfusi
darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang
diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
2. Asam folat
teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
3. Pemberian
cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis.
Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g
dengan setiap unit darah transfusi.
4. Vitamin C,
200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
5. Splenektomi
mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda sampai pasien
berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
6. Terapi
endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise
jika pubertas terlambat.
7. Pada sedikit
kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun
dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini
keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand,
1996)
H. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi
darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar,
limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan
fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat
trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal
jantung.
I.
Prognosis
Thalasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai
usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan
pemberian chaleting agents untuk mengurangi hemosiderosis (harganya pun mahal,
pada umumnya tidak terjangkau oleh penduduk negara berkembang). Thalasemia
tumor trait dan Thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis baik dan
dapat hidup seperti biasa.
J.
Pencegahan
1. Pencegahan
primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling)
untuk mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan
keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier)
menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier
(heterozigot) dan 25 normal.
2. Pencegahan
sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan
suami istri dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah
inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia
troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir
adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).
K.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Asal
Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia
banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti
Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada
anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
b. Umur
Pada
penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat
sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor
biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
c. Riwayat
Kesehatan Anak
Anak
cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya.
Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
d. Pertumbuhan
dan Perkembangan
Seirng
didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak masih
bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil
untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak
ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
e. Pola Makan
Terjadi
anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai
usia.
f.
Pola Aktivitas
Anak
terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
g. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Thalasemia
merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua juga
mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia mayor.
h. Riwayat Ibu
Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa
kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor resiko
talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan
resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
i.
Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
1) KU = lemah
dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
2) Kepala dan
bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas,
yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung),
jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
3) Mata dan
konjungtiva pucat dan kekuningan
4) Mulut dan
bibir terlihat kehitaman
5) Dada, Pada
inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan
disebabkan oleh anemia kronik.
6) Perut,
Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
7) Pertumbuhan
fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
8) Pertumbuhan
organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan baik.
Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak
dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
9) Kulit, Warna
kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna kulit
akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat
besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
normal.
4.
Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan sirkulasi dan neurologis.
5.
Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder
tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6.
Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
a.
Perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
ü Tidak
terjadi palpitasi
ü Kulit tidak
pucat
ü Membran
mukosa lembab
ü Keluaran
urine adekuat
ü Tidak
terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
ü Tidak
terjadi perubahan tekanan darah
ü Orientasi klien
baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
1) Awasi
tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar
kuku.
2) Tinggikan
kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
3) Selidiki
keluhan nyeri dada, palpitasi.
4) Kaji respon
verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
5) Catat
keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
6) Kolaborasi
pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
7) Kolaborasi
dalam pemberian transfusi.
8) Awasi ketat
untuk terjadinya komplikasi transfusi.
b.
Intoleransi aktivitas berhubungan degnan
ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil : Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi,
misalnya nadi, pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
1) Kaji
kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam
beraktivitas.
2) Awasi
tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
3) Catat respin
terhadap tingkat aktivitas.
4) Berikan
lingkungan yang tenang.
5) Pertahankan
tirah baring jika diindikasikan.
6) Ubah posisi
pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
7) Prioritaskan
jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
8) Pilih
periode istirahat dengan periode aktivitas.
9) Beri bantuan
dalam beraktivitas bila diperlukan.
10) Rencanakan
kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
11) Gerakan
teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
c.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan /
absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
ü Menunjukkan
peningkatan berat badan/ BB stabil.
ü Tidak ada
malnutrisi.
Intervensi :
1) Kaji riwayat
nutrisi termasuk makanan yang disukai.
2) Observasi
dan catat masukan makanan pasien.
3) Timbang BB
tiap hari.
4) Beri makanan
sedikit tapi sering.
5) Observasi
dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang berhubungan.
6) Pertahankan
higiene mulut yang baik.
7) Kolaborasi
dengan ahli gizi.
8) Kolaborasi
Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
9) Berikan obat
sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak
dianjurkan.
d.
Resiko
terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
dan novrologis.
Kriteria hasil : Kulit utuh.
Intervensi :
1) Kaji
integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
2) Ubah posisi
secara periodik.
3) Pertahankan
kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
e.
Resiko
infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb, leukopenia atau penurunan
granulosit.
Kriteria hasil :
ü Tidak ada
demam
ü Tidak ada
drainage purulen atau eritema
ü Ada
peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
1) Pertahankan
teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
2) Dorong
perubahan ambulasi yang sering.
3) Tingkatkan
masukan cairan yang adekuat.
4) Pantau dan
batasi pengunjung.
5) Pantau
tanda-tanda vital.
6) Kolaborasi
dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
f.
Kurang
pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah
interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
ü Menyatakan
pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
ü Mengidentifikasi
faktor penyebab.
ü Melakukan
tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
1) Berikan
informasi tentang thalasemia secara spesifik.
2) Diskusikan
kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
3) Rujuk ke
sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
4) Konseling
keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin melalui air
ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama
penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Abdoerrachman
M. H, dkk (1998), Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung Solo, Jakarta.
5.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
6.Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
7.Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC, Jakarta.
8.Depkes, (1999), Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
9.Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.
3.Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
4.Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung Solo, Jakarta.
5.Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
6.Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
7.Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC, Jakarta.
8.Depkes, (1999), Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi, Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
9.Sacharin. M, (1996), Prinsip Keperawatan Pediatrik, edisi 2, EGC, Jakarta.
0 komentar: